Sabtu, 07 Februari 2009

OSK dan Peran Sekolah

Babak Penyisihan Olimpiade Sains Kuark (OSK) 2009 hari ini, Sabtu tanggal 7 Pebruari 2009 kembali digelar serempak di Indonesia.Kompetisi Sains bagi anak-anak SD ini dilaksanakan dalam skala nasional, tapi berstandar Internasional. OSK diselenggarakan oleh PT Kuark Internasional yang menerbitkan Komik Sains Kuark. Penyelenggaraan OSK ini didukung penuh oleh Prof. Yohanes Surya, PhD sebagai Ketua Tim Olimpiade Fisika Indonesia dans ekaligus President of Asian Physics Olympiad (APhO).

Kali ini, untuk ketiga kalinya Shasa ikut OSK. Shasa mengikuti OSK pertama kali saat masih duduk di kelas 1 SD, tahun 207 yang lalu. Saat itu Komik Kuark belum dikenal luas di Kota Madiun. Sehingga untuk bisa mengikuti OSK, Shasa harus pergi ke Yogyakarta karena peserta dari Madiun gak ada yang lain.

Keikutsertaan Shasa dalam ajang kompetisi sains itu pada awalnya dipandang negatif oleh beberapa orang. Siapa sih yang gak tahu "berat"nya Sains ? Padahal, ternyata Shasa asyik-asyik aja tuh belajar sains lewat Komik Kuark. Banyak yang menuduh bahwa keikutsertaan Shasa saat itu adalah ambisi dari kedua orangtuanya. Padahal..., (halah ... banyak kali "padahal"nya ) Shasa sendiri yang bersemangat untuk mengikutinya. So, walau sedikit berat di ongkos *curhat mode on* kami tetap mengikuti kemauan Shasa untuk mengikuti OSK di Yogyakarta.

Tahun 2007 yang lalu, OSK masih dilakukan dalam 4 tahapan, yaitu : Penyisihan, Seperempat final, Semifinal dan Final. Babak Penyisihan sampai dengan Semifinal dilaksanakan di daerah. Sementara babak Final dilaksanakan di Jakarta. Ternyata, Shasa bisa sampai babak semifinal yang berarti, kami harus bolak-balik Madiun-Yogyakarta sebanyak 3x mulai bulan Januari s/d April 2007. Lumayan juga....

Tahun 2008, Shasa ikut lagi OSK. Tapi kali ini Madiun sudah bisa menyelenggarakan sendiri. Peserta dari Madiun dan sekitarnya (Ponorogo, Ngawi dan Magetan) juga sudah mulai banyak. Bedanya, OSK 2008 dilaksanakan dalam 3 babak, yaitu : Penyisihan, Semifinal dan Final. Seperti tahun sebelumnya, babak Penyisihan s/d Semifinal dilaksanakan di daerah sementara babak Final dilaksanakan di Jakarta. Lagi-lagi, Shasa mentok di babak semifinal. Gak masalah sih bagi kami, apalagi kami melihat semangat Shasa untuk ikut OSK tidak semenggebu tahun sebelumnya.

Pada tahun 2009 ini, kembali Shasa minta untuk mengikuti OSK dan (lagi-lagi) kami turuti. Tapi kami melihat bahwa semangat Shasa untuk mempersiapkan diri sudah jauh menurun dari tahun sebelumnya. So, kami kali ini tidak berharap banyak dari Shasa. Kami hanya ingin memberikan pengalaman untuk berkompetisi bagi Shasa.

Tahun ini peserta yang ikut OSK di Madiun sebanyak 1116 murid, dari kelas 1 SD s/d 6 SD. Peserta bukan saja dari Madiun, tapi dari Magetan, Ponorogo, Ngawi bahkan Pacitan. Waa..., kebayang kan gimana ramainya orang sebanyak itu (plus para pengantarnya) yang kumpul di satu sekolah ?!?






Iihh.. ruwet banget kan suasananya ?

Setelah peserta melakukan registrasi tidak diijinkan langsung memasuki ruang yang disediakan.Setelah menunggu beberapa lama, anak-anak diijinkan menuju ruangan dengan dipandu oleh panitia, sementara orangtuanya tidak diijinkan untuk mendampingi.


Shasa menunggu setelah selesai regristrasi






Yang ini Shasa sedang terjebak dalam barisan yang mau masuk ke ruangan

Dari ketiga kali keikutsertaan Shasa dalam ajang OSK, ternyata bahwa pihak sekolah sama sekali tidak terlibat. Tiga kali keterlibatan Shasa dalam ajang OSK, pihak sekolah selalu tahu, tapi sama sekali tidak membantu. Sebenarnya aku berharap, pihak sekolah ikut aktif membantu persiapan materi untuk menghadapi OSK ini. Ternyata, apa yang aku keluhkan ini juga dirasakan juga oleh orangtua lain dari sekolah lain yang ada di Madiun. Jadi, ternyata bukan hanya sekolah Shasa saja yang cuek. Tapi, sebenarnya ada juga sih sekolah dari Madiun yang sekolahnya ikut aktif membantu keikutsertaan muridnya dalam ajang OSK.

Kami, yang merasa tidak mendapatkan perhatian dari pihak sekolah, terus terang merasa iri saat melihat murid-murid dari sekolah lain yang datang didampingi oleh guru-gurunya. Dari Ponorogo, Ngawi, Magetan dan Pacitan malah berangkat berombongan dengan gurunya. Mereka dipandu oleh gurunya langsung.

Ada satu hal yang menarik untuk aku catat. Sebuah sekolah dari Pacitan, membawa 4 muridnya kelas 1 untuk ikut OSK ini. Keempat murid itu tidak didampingi oleh orangtuanya tapi didampingi oleh 3 orang gurunya. Guru-guru sekolah itu malah melarang orangtua murid untuk ikut mendampingi. Tanggung jawab diambil alih 3 guru tersebut. Alasannya untuk melatih anaka-anak agar belajar mandiri. Dan semua biaya yang dikeluarkan, mulai dari pendaftaran, biaya perjalanan Pacitan - Madiun PP, makan dan bahkan refreshing (setelah dari mengikuti OSK, murid-muridnya diajak jalan-jalan ke Matahari !!) semua ditanggung pihak sekolah. Wah..., asyiknya....

Sayang, sampai keterlibatan Shasa yang ketiga kalinya dalam ajang OSK ini pihak sekolah belum juga ikut membantu. Padahal, seandainya saja pihak sekolah ikut memberikan pembinaan atau datang mendampingi saat pelaksanaan lombanya, pasti semangat Shasa akan lebih besar lagi. Padahal, kartu tanda peserta OSK diserahkan langsung oleh pihak sekolah kepada para pesertanya lho.
Aku gak tahu kenapa pihak sekolah seolah lepas tangan dan tidak melakukan pembinaan terhadap muridnya yang ikut OSK. Apa karena penyelenggara OSK ini adalah pihak swasta ? Apa karena OSK dianggap bukan sebagai "agenda resmi" dari Departemen Pendidikan ? Apa karena keikutsertaan murid-murid dalam OSK tidak didanai oleh pihak sekolah ? Entahlah.., sampai sekarang aku tidak tahu jawabannya.

6 komentar:

  1. Ya bener,mungkin krn yg nyelenggarakan bkn DEPDIKNAS atau instansi pemerintah,jd ga ada perhatian dr pihak sekolah.Meskipun seharusnya tidak boleh spt itu. Tp jgn khawatir bu,pihak sekolah pasti (baru) akan memberi perhatian dan dg senang hati mengumumkan bila anak didiknya ada yg menang! he2.. NB : Protes nih ke mas Ari,kenapa fotonya Aji disebelah Shasa ga ada yg utuh? Hayoo,sengaja ya??

    BalasHapus
  2. wah .. Shasanya aja semangat, kok sekolahnya enggak. Aneh ya!!
    Seharusnya kalau melihat anak juridnya semangat, sekolahnya memberi dukungan. Toh kalau Shasha menang, nama sekolah juga yang terangkat ..

    Gak papa Mbak. Ini buat kebaikan Shasha .. paling tidak memberi gambaran kepada Shasha, buat maju gak harus mengandalkan orang lain, namun dari diri sendiri, dengan begitu, kita akan banyak belajar, nambah pengalaman en wawasan.

    Siapa mau maju, dia yang berusaha!! Jangan patah semangat ya!!

    BalasHapus
  3. @harum : Foto Aji yang keliatan "utuh" ada kok... Sabar ya, ntar dicetak kok. Piiss...

    @kuyus : Waduh, baca komen mbak Kuyus jadi semangat lagi nih. Thanks ya.... :)

    BalasHapus
  4. wah, gejala lomba2an yg tidak sy temui di Jepang.
    Kasihan sekali melihat jubelan anak-anak yg daftar. Kalau memang tujuannya u mengecek kemampuan sains anak-anak SD di Indonesia, mestinya tdk usah dibuat seperti ini. Jika Pak Yohannes memang bermaksud memperbaiki literacy sains di Indonesia, mengapa tidak mengundang guru2 untuk mengikuti training pembelajaran sains yang lebih baik ?
    Dan jk memang rencana beliau melahirkan nobelis dari Indonesia spt ramai dibicarakan, alangkah baiknya jika pembelajaran sains diberikan sebagai sebuah pemahaman akan permasalahan sains dalam kehidupan sehari-hari, bukan sebagai pembelajaran u mengikuti kompetisi sains.

    Mohon maaf, sy justru melihat ini sebagai bentuk privatisasi pendidikan di Indonesia selain juga mengakuinya sbg bentuk latihan berkompetisi bagi anak2 Indonesia.
    Tetapi dibandingkan dg Jepang, anak-anak Indonesia sebenarnya sdh kenyang berkompetisi setiap hari (ulangan dan ujian akhir), sementara di Jepang ulangan hanya ada di akhir tahun untuk siswa SD, itu pun bukan u menentukan kelulusan dan baru-baru saja diterapkan. Sebelumnya tdk ada ujian.

    Bedanya barangkali di Jepang, pendidikan sains diajarkan dengan kualitas yg hampir sama di semua sekolah. Daripada meng-elitkan pendidikan hanya untuk anak-anak unggul, Jepang lebih memilih pendidikan massal yang sama kualitasnya.

    Btw, selamat untuk Sasha chan,
    Mempunyai pengalaman seperti ini adalah hal langka bagi sebagian anak Indonesia.
    Semoga tambah mencintai alam dan penghuninya ya :D

    BalasHapus
  5. @murni : wah, beda banget ternyata Indonesia ma Jepang ya ? Dirimu yang mempelajari masalah pendidikan jadi lebih paham deh. Terus Jepang dalam meluluskan siswanya pake dasar apa ya ??

    BalasHapus
  6. Krn SD dan SMP adalah termasuk 9 th wajib belajar, maka setiap anak yg sdh mengikuti pendidikan di SD selama 6 th dan 3 th di SMP (ngga ada kelas akselerasi ya), maka dianggap telah menyelesaikan program wajib belajar, dan Jepang tdk mengenal sistem turun kelas, semua siswa naik kelas secara otomatis. Lalu bgm kalau ada anak yg ngga bisa apa2 ? apk tetep dinaikkan kelas ?
    Para pemikir pendidkan di Jepang berprinsip bhw semua anak pada dasarnya punya kemampuan dasar yg sama yg pengasahannya berbeda2, oleh karena itu ndak ada anak yg bodoh. Anak2 yg mengalami keterlambatan daya tangkap harus dibimbing dg jumlah jam dan cara yg berbeda dg teman2nya yg biasa. Makanya di setiap sekolah ada jam tertentu untuk tambahan bagi anak2 tsb. Anak-anak yg punya kelainan fisik dan mental diajar di satu kelas khusus dalam Sekolah yg sama dg anak2 normal. Ini sebuah bentuk pengajaran empati kpd anak2 normal dan sekaligus pelajaran sosialisasi u anak2 yg kekurangan tsb.

    BalasHapus

Maaf ya, komentarnya dimoderasi dulu. Semoga tak menyurutkan niat untuk berkomentar disini. Terima kasih (^_^)